KOMPAS.com - Suara gemerincing gelang kaki terdengar
dari hentakan kaki yang dihujamkan ke tanah oleh wanita-wanita suku Abui.
Sementara itu, syair-syair lagu menggema dilantunkan ke langit oleh
sekumpulan lekaki pejuang yang beratraksi sembari mengangkat senjata dan
perisai mereka.
Sesekali gerak dan suara teriakan terhenti sebagai isyarat agar
tamu yang datang mengikuti secara perlahan. Ada 21 anak tangga yang dipinjak
untuk mulai memasuki sebuah kampung yang berusia sangat tua ini, setelah itu
bersiaplah merasakan langsung aroma budaya pesta perayaan dan persahabatan
melalui tari lego-lego yang menawan di Desa Takpala.
Desa Takpala adalah sebuah kampung tradisional di atas sebuah
bukit namun sekaligus tidak begitu jauh dari pesisir pantai. Lokasinya berada
di Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor. Sebagai kampung tradisional,
Takpala memiliki belasan rumah adat berbentuk limas beratap ilalang yang
tertata cukup baik. Kampung adat ini kiranya patut masuk dalam daftar agenda
kunjungan Anda selama berada di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur.
Desa Takpala mencuat dalam daftar kunjungan wisatawan asal Eropa
setelah seorang turis warga Belanda bernama Ferry memamerkan foto-foto warga
kampung ini tahun 1973. Ia mengambil foto warga Kampung Takpala untuk kalender
dan mempromosikan bahwa di Pulau Alor ada kampung primitif. Sejak saat itu Desa
Takpala dikenal orang-orang Eropa dan turis pun berdatangan ke kampung ini.
Selain itu, tahun 1980 Kampung Takpala juga sempat menjadi juara
2 tingkat Nasional untuk kategori desa paling tradisional. Sejak 1983 Kampung
Takpala ditetapkan sebagai salah satu tujuan wisata di Pulau Alor oleh Dinas
Pariwisata Alor.
Kata takpala sendiri berasal kata "tak" artinya ada
batasnya dan kata "pala" artinya kayu. Takpala diartikan sebagai kayu
pembatas. Ada juga yang memberi definisi takpala sebagai kayu pemukul.
Suku Abui sendiri yang menghuni kampung ini adalah suku terbesar
yang mendiami Pulau Alor. Mereka kadang biasa disebut juga Tak Abui (artinya
gunung besar). Meski warga penduduk yang mendiami kampung ini hanya puluhan
tetapi sebenarnya keturunan penduduk kampung ini telah tersebar dan telah
mencapai ribuan orang. Masyarakat suku Abui dikenal begitu bersahaja dan sangat
ramah terhadap pendatang.
Keseharian suku Abui di Desa Takpala ini adalah memanfaatkan
hasil alam terutama hutan dengan berladang atau berburu. Otomatis saat siang
hari kampung ini terlihat sepi karena sebagian dari mereka akan pergi mencari
makanan ke hutan sekaligus berburu. Hasilnya selain dikonsumsi sehari-hari juga
dijual di pasar. Makanan asli suku Abui umumnya adalah singkong dan jagung.
Nasi kadang mereka konsumsi tetapi tetap dipadupadankan dengan singkong dan
jagung (disebut katemak).
Kampung Takpala awalnya mendiami pedalaman Gunung Alor tetapi
kemudian dipindahkan ke bagian bawah. Alasan pemindahan ini dahulu terkait
kewajiban membayar pajak kepada Raja Alor (balsem). Utusan Raja Alor yang
hendak memungut pajak kesulitan menjangkau kampung tersebut sehingga akhirnya
dipindahkan ke bagian bawah. Adalah Bapak (alm) Piter Kafilkae yang menghibahkan
tanahnya untuk dijadikan lokasi Kampung Takpala seperti sekarang ini sejak
tahun 1940-an.
Rumah adat Suku Abui di Kampung Takpala begitu sederhana namun
memikat. Rumah adat ini dinamakan lopo. Bangunannya berbahan kayu berbentuk
limas dan beratap ilalang terbuka seperti gazebo dengan dinding setinggi 90 cm
dari bambu. Rumah adat ini disangga 6 tiang dari kayu merah dan mampu bertahan
cukup lama. Ada dua jenis rumah lopo, yaitu kolwat dan kanuruat. Rumah kolwat
terbuka untuk umum, siapa pun boleh masuk termasuk anak-anak dan perempuan,
sedangkan kanuruat hanya boleh dimasuki kalangan tertentu.
Selain lopo ada juga fala foka yaitu rumah adat bertingkat 4
yang dihuni hingga 13 kepala keluarga. Rumah adat bertingkat ini lantai 1
digunakan untuk berkumpul dan menerima tamu, lantai 2 untuk ruang tidur dan
masak, lantai 3 tempat menyimpan bahan pangan seperti jagung dan hasil bumi
lainnya, dan lantai 4 untuk menyimpan barang-barang adat seperti moko, gong,
senjata, dan lainnya. Warga Takpala mengklaim bahwa merekalah yang pertama kali
membuat rumah tradisional bertingkat empat di dunia.
Belanja
Di desa ini ada warga yang menjual beragam benda kerajinan. Anda
dapat memiliki tas fulak yang terbuat dari anyaman bambu dan biasa digunakan
untuk membawa sirih pinang atau tempat menyimpan uang. Tas ini juga pasti
dikenakan saat menari lego-lego.
Saat para pria berburu dan berkebun ke hutan maka para wanita
suku Abui umumnya mengisi waktu mereka dengan menenun. Tenunannya begitu cantik
dan beragam dengan motif bunga, kepiting, kura-kura, serta ikan. Warna tenun
ikat ini pun beragam ada yang hitam, merah, kuning, dan biru.
Anda dapat membeli salah satunya dari berbagai ukuran yang
tersedia untuk selendang, sarung atau kain lebar seperti seprei. Harga tenun
ikat ini mulai dari Rp 150.000 hingga jutaan rupiah.
0 komentar:
Posting Komentar