This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 09 Maret 2013

Tari Rapai Geleng dari Aceh Memukau Publik Mesir




ABU SIMBEL, KOMPAS.com -- Tari Rapai Geleng dari Aceh yang dimainkan oleh 13 mahasiswa Indonesia di Universitas Al Azhar, Kamis (21/2/13) malam di Abu Simbel (sekitar 1260 km arah selatan kota Kairo), memukau sekitar 2000 penonton.
Tari Rapae Geleng mengandalkan keserasian antara gerak kepala dengan ritme bunyi rebana yang ditabuhnya. Gerakannya bervariasi, lambat, cepat, sangat cepat, dan diam tanpa gerak. keserasian gerak, gelengan kepala, dan bunyi rebana yang ditabuh secara ritmik diiringi dengan syair religi dalam bahasa Aceh.
Konsentrasi penuh merupakan kunci kesenian ini, karena jika ada salah satu pemain yang salah gerak, maka akan mengakibatkan rusaknya permainan secara keseluruhan. Secara filosofis, hal itu menunjukkan dinamis dan harmonisnya kehidupan. Jika semua orang berpegang pada aturan main yang tepat, maka terjadilah Keharmonisan. Jika tidak, yang terjadi adalah saling bertabrakan satu sama lain.
Acara Festival Seni Budaya Internasional di kota Aswan yang berlangsung dari tanggal 20 - 25 Februari 2013 ini merupakan yang pertama kali. Kegiatan ini merupakan kerja sama antara kementerian Kebudayaan Mesir dengan Pemerintahan Provinsi Aswan. Beberapa negara, termasuk Indonesia diundang untuk meramaikan festival tersebut.
KUAI/Wakil Dubes RI untuk Mesir, Teuku Darmawan mengatakan, partisipasi Indonesia itu merupakan dukungan bagi Mesir dalam upaya menghidupkan geliat pariwisata yang hingga kini masih belum sepenuhnya pulih. Sebagai salah satu negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia, hubungan bilateral Indonesia dengan Mesir selama ini terbina dengan baik dalam berbagai bidang, termasuk di bidang sosial budaya.
Festival tersebut dimaksudkan untuk merayakan hari dimana muka patung Ramses II yang berada di dalam kuil Abu Simbel dapat tersinari matahari selama beberapa menit. Peristiwa ini hanya terjadi dua kali dalam setahun, yaitu tanggal 22 Februari dan 22 Oktober.
Kuil Abu Simbel merupakan salah satu peninggalan luar biasa monumental dari Mesir kuno yang telah diakui oleh Unesco sebagai warisan dunia. Pada masa Ramses II sekitar tahun 1250 SM kuil tersebut dibangun dan menghabiskan waktu 20 tahun.
Editor :
Nasru Alam Aziz

KAMPUNG TAKPALA ALOR







KOMPAS.com - Suara gemerincing gelang kaki terdengar dari hentakan kaki yang dihujamkan ke tanah oleh wanita-wanita suku Abui. Sementara itu,  syair-syair lagu menggema dilantunkan ke langit oleh sekumpulan lekaki pejuang yang beratraksi sembari mengangkat senjata dan perisai mereka.
Sesekali gerak dan suara teriakan terhenti sebagai isyarat agar tamu yang datang mengikuti secara perlahan. Ada 21 anak tangga yang dipinjak untuk mulai memasuki sebuah kampung yang berusia sangat tua ini, setelah itu bersiaplah merasakan langsung aroma budaya pesta perayaan dan persahabatan melalui tari lego-lego yang menawan di Desa Takpala.
Desa Takpala adalah sebuah kampung tradisional di atas sebuah bukit namun sekaligus tidak begitu jauh dari pesisir pantai. Lokasinya berada di Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor. Sebagai kampung tradisional, Takpala memiliki belasan rumah adat berbentuk limas beratap ilalang yang tertata cukup baik. Kampung adat ini kiranya patut masuk dalam daftar agenda kunjungan Anda selama berada di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur.
Desa Takpala mencuat dalam daftar kunjungan wisatawan asal Eropa setelah seorang turis warga Belanda bernama Ferry memamerkan foto-foto warga kampung ini tahun 1973. Ia mengambil foto warga Kampung Takpala untuk kalender dan mempromosikan bahwa di Pulau Alor ada kampung primitif. Sejak saat itu Desa Takpala dikenal orang-orang Eropa dan turis pun berdatangan ke kampung ini.
Selain itu, tahun 1980 Kampung Takpala juga sempat menjadi juara 2 tingkat Nasional untuk kategori desa paling tradisional. Sejak 1983 Kampung Takpala ditetapkan sebagai salah satu tujuan wisata di Pulau Alor oleh Dinas Pariwisata Alor.
Kata takpala sendiri berasal kata "tak" artinya ada batasnya dan kata "pala" artinya kayu. Takpala diartikan sebagai kayu pembatas. Ada juga yang memberi definisi takpala sebagai kayu pemukul.
Suku Abui sendiri yang menghuni kampung ini adalah suku terbesar yang mendiami Pulau Alor. Mereka kadang biasa disebut juga Tak Abui (artinya gunung besar). Meski warga penduduk yang mendiami kampung ini hanya puluhan tetapi sebenarnya keturunan penduduk kampung ini telah tersebar dan telah mencapai ribuan orang. Masyarakat suku Abui dikenal begitu bersahaja dan sangat ramah terhadap pendatang.
Keseharian suku Abui di Desa Takpala ini adalah memanfaatkan hasil alam terutama hutan dengan berladang atau berburu. Otomatis saat siang hari kampung ini terlihat sepi karena sebagian dari mereka akan pergi mencari makanan ke hutan sekaligus berburu. Hasilnya selain dikonsumsi sehari-hari juga dijual di pasar. Makanan asli suku Abui umumnya adalah singkong dan jagung. Nasi kadang mereka konsumsi tetapi tetap dipadupadankan dengan singkong dan jagung (disebut katemak).
Kampung Takpala awalnya mendiami pedalaman Gunung Alor tetapi kemudian dipindahkan ke bagian bawah. Alasan pemindahan ini dahulu terkait kewajiban membayar pajak kepada Raja Alor (balsem). Utusan Raja Alor yang hendak memungut pajak kesulitan menjangkau kampung tersebut sehingga akhirnya dipindahkan ke bagian bawah. Adalah Bapak (alm) Piter Kafilkae yang menghibahkan tanahnya untuk dijadikan lokasi Kampung Takpala seperti sekarang ini sejak tahun 1940-an.
Rumah adat Suku Abui di Kampung Takpala begitu sederhana namun memikat. Rumah adat ini dinamakan lopo. Bangunannya berbahan kayu berbentuk limas dan beratap ilalang terbuka seperti gazebo dengan dinding setinggi 90 cm dari bambu. Rumah adat ini disangga 6 tiang dari kayu merah dan mampu bertahan cukup lama. Ada dua jenis rumah lopo, yaitu kolwat dan kanuruat. Rumah kolwat terbuka untuk umum, siapa pun boleh masuk termasuk anak-anak dan perempuan, sedangkan kanuruat hanya boleh dimasuki kalangan tertentu.
Selain lopo ada juga fala foka yaitu rumah adat bertingkat 4 yang dihuni hingga 13 kepala keluarga. Rumah adat bertingkat ini lantai 1 digunakan untuk berkumpul dan menerima tamu, lantai 2 untuk ruang tidur dan masak, lantai 3 tempat menyimpan bahan pangan seperti jagung dan hasil bumi lainnya, dan lantai 4 untuk menyimpan barang-barang adat seperti moko, gong, senjata, dan lainnya. Warga Takpala mengklaim bahwa merekalah yang pertama kali membuat rumah tradisional bertingkat empat di dunia.
Belanja
Di desa ini ada warga yang menjual beragam benda kerajinan. Anda dapat memiliki tas fulak yang terbuat dari anyaman bambu dan biasa digunakan untuk membawa sirih pinang atau tempat menyimpan uang. Tas ini juga pasti dikenakan saat menari lego-lego.
Saat para pria berburu dan berkebun ke hutan maka para wanita suku Abui umumnya mengisi waktu mereka dengan menenun. Tenunannya begitu cantik dan beragam dengan motif bunga, kepiting, kura-kura, serta ikan. Warna tenun ikat ini pun beragam ada yang hitam, merah, kuning, dan biru.
Anda dapat membeli salah satunya dari berbagai ukuran yang tersedia untuk selendang, sarung atau kain lebar seperti seprei. Harga tenun ikat ini mulai dari Rp 150.000 hingga jutaan rupiah.
Ikuti twitter Kompas Travel di @KompasTravel 

Jumat, 08 Maret 2013

TRADISI PUKUL MENYAPU DESA MORELLA DAN DESA MAMALA, MALUKU




Pukul Manyapu atau Baku Pukul Manyapu merupakan atraksi unik dari Maluku Tengah yang biasanya dipentaskan di Desa Mamala dan Desa Morella, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Berlangsung setiap 8 syawal (penanggalan Islam) dimana telah berlangsung dari abad XVII yang diciptakan seorang tokoh agama Islam dari Maluku bernama Imam Tuni. Tradisi ini dipertunjukkan sebagai perayaan keberhasilan pembangunan masjid yang selesai dibangun pada 8 syawal setelah Idul Fitri.
Tradisi ini juga dikaitkan dengan sejarah masyarakat setempat yaitu perjuangan Kapiten Tulukabessy beserta pasukannya pada masa penjajahan Portugis dan VOC pada abad ke-16 di tanah Maluku. Pasukan Tulukabessy bertempur untuk mempertahankan Benteng Kapapaha dari serbuan penjajah meskipun perjuangan mereka gagal dan Benteng Kapapaha tetap jatuh juga. Untuk menandai kekalahan tersebut, pasukan Tulukabessy mengambil lidi enau dan saling mencambuk hingga berdarah.
Tradisi Pukul Manyapu dipandang sebagai alat untuk mempererat tali persaudaraan masyarakat di Desa Mamala dan Desa Morella. Dipertunjukan oleh pemuda yang dibagi dalam dua kelompok dimana setiap kelompoknya berjumlah 20 orang. Kedua kelompok dengan seragam berbeda itu akan bertarung satu sama lain. Kelompok satu menggunakan celana berwarna merah sedangkan kelompok lainnya menggunakan celana berwarna hijau. Pesertanya juga diwajibkan menggunakan ikat kepala untuk menutupi telinga agar terhindar dari sabetan lidi. Alat pukul dalam tarian ini adalah sapu lidi dari pohon enau dengan panjang 1,5 meter. Bagian tubuh yang boleh dipukul adalah dari dada hingga perut.
Jalannya Atraksi
Ketika atraksi dimulai, kedua kelompok akan saling berhadapan dengan memegang sapu lidi di kedua tangan. Ketika suara suling mulai ditiup sebagai aba-aba pertandingan dimulai kemudian kedua kelompok ini secara bergantian saling pukul menggunakan sapu lidi. Dimulai dengan kelompok bercelana merah memukul kelompok bercelana hijau atau sebaliknya. Ketika dimulai maka suara cambukan lidi di badan peserta akan terdengar dan darah pun keluar akibat sabetan lidi. Suasana ini akan membuat tubuh Anda bergidik.
Kehebatan dari tradisi pukul manyapu ini adalah bagaimana pesertanya seakan tidak merasa kesakitan walaupun tubuh mereka mengelurkan darah akibat dari sabetan lidi. Akan tetapi, jangan kaitkan itu dengan kekuatan mistis atau gaib, karena para peserta sebenarnya sudah melebur dalam semangat yang telah membenamkan rasa sakit.
Ketika pertempuran selesai, pemuda kedua desa tersebut mengobati lukanya dengan menggunakan getah pohon jarak. Ada juga yang mengoleskan minyak nyualaing matetu (minyak tasala) dimana mujarab untuk mengobati patah tulang dan luka memar.
Potensi Wisata
Tradisi pukul manyapu merupakan perayaan yang ditunggu-tunggu warga dan wisatawan setiap tahunnya. Anda dapat melihat proses pembuatan pohon enau menjadi sebuah lidi dan juga pengolahan minyak kelapa untuk pengobatan selepas tradisi ini. Selain itu, tradisi ini juga diramaikan dengan permainan rebana, karnaval budaya, dan pertunjukan tari lokal seperti tari putri, tari mahina, dan tari perang. Dikabarkan, desa Mamala dan desa Morella meraup untung dari kedatangan wisatawan baik lokal, regional maupun internasional terutama dari Belanda.